Oleh : Abdul Mun’im Marzuqi Ammar Lc., M.Pd.
Pendidikan merupakan pintu kemajuan dan peningkatan kualitas kehidupan manusia. Pendidikan ideal yang merupakan proses pembentukan kepribadian telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Banyak riwayat Sirah Nabawiyah yang menunjukkan kepada kita bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendidik para sahabat beliau menjadi pribadi yang lebih memiliki value atau nilai karakter yang sempurna, jiwa bersih, serta memiliki keseimbangan pola pikir dan perilaku hingga mampu mencapai kebahagiaan duniawi. Bahkan telah dijamin oleh Allah Ta’ala sebagai tamu yang akan menghuni surga-Nya kelak.
Tentu saja keberhasilan ini membutuhkan proses yang tidak sebentar serta menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Satu hal yang menjadi kunci kesuksesan pendidikan yang telah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai seorang guru mampu menjadi teladann yang sempurna bagi para sahabat yang merupakan murid-murid beliau.
Di era modern seperti masa sekarang ini, telah banyak dikembangkan berbagai metode pendidikan,baik yang diusung oleh para tokoh pendidikan barat maupun tokoh pendidikan dari dunia Islam sendiri. Dari sekian banyaknya pengembangan metode pendidikanyang telah dirumuskan oleh para pakar pendidikan tersebut, sebenarnya kata kunci keberhasilannya kembali kepada kemampuan pendidik untuk menjadi contoh nyata bagi para peserta didiknya sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tanpa kemampuan untuk menjadi tauladan ini, maka bisa dikatakan mustahil suatu proses pendidikan akan berhasil.
Salah satu pondasi atau pokok penting dan harus mendapat perhatian serius dalam pendidikan adalahpembentukan karakter atau akhlaq. Dalam konteks pembangunan bangsa, pendidikan karakter merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi atau kelompok yang diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam rangka mewujudkan masyarakat sebagaimana dimanatkan oleh Pancasila.
Dalam konteks pendidikan Islam, sebenarnya pendidikan karakter bukanlah merupakan satu hal yang baru. Bahkan pendidikan karakter yang dalam Islam disebut sebagai akhlak merupakan misi utama dari pengangkatan Muhammad sebagai utusan Allah swt sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berbunyi :
(إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ» أخرجه أحمد (8939
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Ahmad No. 8939).
Sedemikian besar perhatian Islam terhadap pendidikan akhlak, hingga sangat disayangkan jika lembaga pendidikan berlabel Islam tidak mampu menjaga amanah yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait pendidikan akhlak, karena pada hakekatnya umat Islam secara keseluruhan merupakan penerus perjuangan yang telah dirintis oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sebagaimana telah dipaparkan, bahwa pendidikan karakter harus melibatkan tiga unsur utama: kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga unsur ini dalam Islam disebut sebagai aqidah, ibadah dan muamalah, atau disebut juga sebagai Islam, Iman dan Ihsan. Tentu saja ketiga unsur ini harus saling mendukung dan melengkapi agar karakter atau akhlak yang terbentuk benar-benar terbangun atas landasan Islam, Iman dan Ihsan. Konsep Islam merupakan representasi dari ilmu atau ranah kognitif tentang segala sesuatu yang harus dilakukan dan harus ditinggalkan oleh seorang muslim, konsep Iman merupakan representasi dari ranah psikomotorik dimana ilmu yang telah diketahui dan diyakini harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata, baik secara lisan maupun perbuatan, sementara Ihsan merupakan representasi dari ranah afektif, dimana prilaku seseorang haruslah bisa dipertanggungjawabkan secara moral berdasarkan nilai-nilai universal.
Menelisik pandangan di atas, dirasa perlu untuk melakukan penelusuran terhadap pemikiran tokoh-tokoh muslim yang relevan dengan karakter bangsa ini. Telah banyak contoh yang dapat ditemukan dalam pemikiran tokoh-tokoh muslim yang konsen dengan pendidikan karakter. Salah satunya adalah Harun ibn Muhammad Ibnu Abi Ja’far al-Manshur atau biasa dikenal dengan nama Harun Ar-Rasyid. Pemikiran khalifah kelima dalam Dinasti Abbasiyah ini sangat futuristik dan mengandung banyak nilai yang dapat dijadikan model pengembangan pendidikan karakter di Indonesia. Dalam sejarah, Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai tokoh yang memiliki perhatian serius terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian ini tidak saja diberikan bagi masyarakat yang dipimpinnya, tetapi juga anaknya. Hal ini dapat dilihat dari upayanya dalam menghadirkan guru terbaik untuk mendidik anaknya. Sebagai seorang khalifah, Harun Ar-Rasyid sadar betul bahwa ia harus mempersiapkan anaknya agar kelak bisa menjalankan tugas-tugas kepemimpinan sepeninggalnya. Bagi Harun Ar-Rasyid, upaya melahirkan calon pemimpin tidak saja cukup hanya membekalinya dengan pendidikan intelektual, tetapi juga moral atau karakter. Sadar akan pentingnya pendidikan karakter, Harun ar-Rasyid pernah berpesan kepada Ahmar, guru bagi putra mahkotanya, Abu Abdullah Muhammad al-Amin yang kelak menggantikan posisi khalifah sepeninggal Harun ar-Rasyid. Pesan yang disampaikan oleh Harun Ar-Rasyid itu mengandung konsep-konsep pendidikan karakter :
“يَا أَحْمَرُ، إِنَّ أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ قَدْ دَفَعَ إَلَيْكَ مُهْجَةَ نَفْسِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ، فَصَيَّرَ يَدَكَ عَلَيْهِ مَبْسُوْطَةً، وَطَاعَتُهُ لَكَ وَاجِبَةٌ؛ فَكُنْ لَهُ بِحَيْثُ وَضَعَكَ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ:
أَقْرِئْهُ الْقُرْآنَ، وَعَرِّفْهً الْأَخْبَارَ، وَرَوِّهِ الْأَشْعَارَ، وَعَلِّمْهُ السُنَنَ، وَبَصِّرْهُ بِمَوَاقِعِ الْكَلاَمِ وَبَدْئِهِ، وَامْنَعْهُ مِنَ الضَحِكِ إِلَّا فِيْ أَوْقَاتِهِ، وَخُذْهُ بِتَعْظِيْمِ مَشَايِخِ بَنِي هَاشِمٍ إِذَا دَخَلُوْا عَلَيْهِ، وَرَفْعِ مَجَالِسِ الْقُوَّادِ إِذَا حَضَرُوْا مَجْلِسَهُ. وَلَا تَمُرَّنَّ بِكَ سَاعَةٌ إِلَّا وَأَنْتَ مُغْتَنِمٌ فَائِدَةً تُفِيْدُهُ إِيَّاهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ تُحْزِنَهُ فَتُمِيْتَ ذِهْنُهُ. وَلَا تُمْعِنْ فِيْ مُسَامَحَتِهِ فَيِسْتَحْلِيَ الْفَرَاغَ وَيَأْلَفَهُ. وَقَوِّمْهُ مَا اسْتَطَعْتَ بِالْقُرْبِ وَالْمُلِايَنَةِ، فَإِنْ أَبَاهُمَا فَعَلَيْكَ بِالشِّدَّةِ وَالْغِلْظَةِ”.
“Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu belahan jiwanya dan buah hatinya. Maka dia (Amirul Mukminin) memberikan kepadamu wewenang sepenuhnya, dan terhadap instruksinya (Amirul Mukminin) kamu wajib taat, maka posisikanlah dirimu untuknya sebagaimana yang diinstruksikan Amirul Mukminin! Bacakan untuknya al Quran, ajarkan sejarah, untaikan syair-syair dan ajarkan sunnah. Buatlah ia mampu mengetahui posisi pembicaraan dan permulaannya. Laranglah ia tertawa kecuali pada waktunya. Biasakanlah ia untuk mengagungkan masyayikh Bani Hasyim jika mereka datang kepadanya dan meninggikan majlis para pemimpin jika mereka datang ke majlisnya. Jangan sampai ada waktu yang berlalu padamu kecuali kamu telah memberikan faedah baginya tanpa harus membuatnya sedih yang akan mematikan otaknya. Jangan menjauh di waktu lapangnya, sehingga dia merasakan manisnya waktu kosong dan membuatnya terbiasa dengannya. Luruskan ia semampumu dengan cara mendekat dan lembut. Jika dengan dua cara itu dia tetap tidak baik maka gunakan cara yang keras.”
Sebuah pesan yang menuai konsep besar dalam mendidik, didalamnya terdapat beberapa konsep penting mengenai pendidikan karakter, diantaranya :
- Pentingnya peranan seorang guru
Peran guru sangatlah penting, karena guru merupakan sumber ilmu pengetahuan yang diharapkan bisa mentransfer ilmu kepada peserta didik. Jika penguasaan bahan ajar tidak benar-benar dilakukan oleh guru, maka proses transfer ilmu pengetahuan pun tidak akan berjalan maksimal. Guru juga perlu menjaga amanah yang diberikan dengan menunjukkan kualifikasi memadai, seperti cerdas secara akademik, dan unggul dalam perilakunya, sehingga ia memiliki kecerdasan moral yang dapat dijadikan teladan bagi peserta didiknya. - Menerapkan kurikulum padu atau mengajar dengan berurutan
Harun Ar-Rasyid menyampaikan kurikulum urutan pengajaran. Jadi usahakan jangan menyampaikan yang lain sebelum urutan di atas sampai kepada peserta didik. Mengajarkan al-Quran, Mengajarkan sejarah, Mengajarkan Sunnah, dan seterusnya. - Menanamkan anak terhadap ketaatan kepada guru
Poin ini adalah bagian penting dari konsep pendidikan Islam, yaitu melatih taat dan penuh adab terhadap guru atau pendidik. - Konsep Belajar tidak Sambil Bermain
Harun Ar-Rasyid menyampaikan nasehat kepadanya (Al Ahmar) agar bisa mengatur kondisi belajar dan bermain. Karena keduanya tidak bisa disatukan. Bermain tidak bisa dicampur dengan keseriusan berilmu. Jika membuat jadwal, tentukan kapan bermain dan kapan belajar. Jika berbicara ajari posisi pembicaraannya. Jika tertawa, ingatkan untuk tidak berlebihan. - Mengajarkan Tentang Dsisplin Terhadap Waktu
Pesan yang kelima ini mengajarkan tentang pentingnya mengoptimalkan waktu. Disiplin terhadap waktu yang sudah disepakati dan berikan kenyamanan saat slhare faedah ilmu tanpa harus memperbesar tekanan yang menyebabkan peserta didik bersedih, hiburlah saat sedih, agar tidak mematikan otak berfikirnya. Poin ini juga secara tidak langsung menunjukkan agar guru tidak melakukan bullying terhadap peserta didik, juga bully terhadap sesama guru baik verbal ataupun non verbal. - Menemani peserta didik dalam mengisi waktu luang
Pada poin ini, adalah pentingnya mengisi waktu luang peserta didik dengan kegiatan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri ataupun untuk orang lain, dan pentingnya pendampingan agar suasana kondusif. - Mengurangi tertawa
Banyak tertawa menyebabkan seseorang kehilangan kepekaan dalam menyikapi keadaan. Padahal kepekaan merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar bisa melihat berbagai permasalahan yang terjadi dari berbagai sudut pandang, sehingga keputusan yang dibuat untuk menyelesaikan masalah dapat diterima oleh semua pihak. - Mengajar dengan sikap tegas
Memperbaiki anak dengan cara pendekatan dan lembut adalah cara terbaik, namun gunakanlah kekerasan saat kedua konsep tersebut tidak berfungsi. Supaya tidak salah faham dalam memaknai kekerasan, maka diperlukan komunikasi yang intens dengan dengan orang tua peserta didik. Karena, banyak orang tua pada sekarang ini menyikapi pemberian hukuman kepada peserta didik sebagai kejahatan pidana, tanpa melihat bahwa di suatu instansi pendidikan ada tata tertib dan kode etik yang berlaku.
Wallahu A’lam Bish Showab