Oleh : Abdul Mun’im Marzuqi Ammar Lc., M.Pd.
Sejatinya, manusia merupakan makhluk sosial. Di mana komunikasi dan interaksi antar sesama menjadi kebutuhan yang mendasar. Menjalani segala sesuatu sendirian akan terasa berat. Tentunya akan lebih mudah jika bersedia melibatkan banyak pihak. Maka tak salah ungkapan pepatah : “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” merupakan nasehat mulia untuk saling terus bekerja sama.
Ada ungkapan yang berbunyi : jika kita memohon air hujan, kita juga harus siap dengan adanya lumpur. Demikian halnya hubungan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kerenggangan mewarnai hubungan di antara manusia. Hal tersebut adalah wajar, karena sebagai manusia, mustahil luput dari salah dan dosa. Oleh karenanya diperlukan formula untuk menstabilkan hubungan di antara sesame manusia tersebut. Terkait dengan hal ini, penulis teringat sebuah nasehat fenomenal dan yang tak kalah menarik adalah nasehat ini keluar dari seseorang yang hidup pada masa jahiliyah. Jika kita membuka kembali literatur mengenai sastra arab pada masa jahiliyah, dapat ditemukan sebuah kisah penyair jahiliyah yang mengajarkan seni bersosial di tengah hidup bermasyarakat.
Orang tersebut bernama Hurtsan bin Muharrits bin Al Harits akan tetapi lebih viral dengan nama Dzul Ishba’ Al Adwani wafat pada tahun 602 M atau tahun ke 21 sebelum hijriyah, dengan usia kurang lebih 170 tahun. Terdapat kisah yang menarik mengenai julukannya tersebut. Kisah versi yang pertama menceritakan bahwa pada salah satu kaki Dzul Ishba’ terdapat dua jempol. Dan kisah versi kedua, menceritakan bahwa salah satu jari kaki Dzul Ishba’ di gigit ular berbisa kemudian dia memotong jari tersebut.
Studi literasi secara seksama terhadap sastra jahiliyah memberikan gambaran tentang besarnya perhatian para sastrawan jahiliyah terhadap pendidikan, penyucian jiwa, dan penaman nilai-nilai akhlak kepada putra-putri mereka. Salah satu bentuk penanaman nilai-nilai pendidikan dan akhlak yang dilakukan sastrawan jahiliyah adalah melalui wasiat seorang bapak kepada anaknya. Pengalaman-pengalaman hidup yang mereka alami dan nilai-nilai kemanusiaan mereka transfer kepada putra-putri mereka. Pada umumnya, wasiat-wasiat seperti ini mereka sampaikan pada saat menjelang kematiannya, sebagaimana dilakukan oleh Dzul Ishba’ al-Adwani, Abdu Qais bin Khufaf al Burjumi, Amru bin al-Ahtam, Qais bin Ashim al-Minqari, Ubadah bin ath-Thayyib, dan lain-lain. Para sastrawan tersebut berusaha menggambarkan kepada putra-putrinya tentang pahlawan sejati dan manusia ideal. Hal ini menggambarkan perhatian terhadap pendidikan anak-anak mereka dan kepeduliaan terhadap kemuliaan mereka.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arab pra Islam, tidaklah steril dari nilai-nilai agama, tidak hampa dari adat istiadat dan akhlak, serta tidak kosong dari tata aturan yang mengarah kepada keharmonisan. Namun, setelah Islam datang, terjadilah “dialog” antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai yang hidup dan mengkristal di tengah-tengah mereka.
Dzul Isba’ al-Adwani adalah salah seorang tokoh dan pemimpin pada zaman jahiliyah. Petuah-petuahnya menjadi rujukan moral masyarakat pada zamannya. Salah satu pertuahnya yang sangat monumental adalah wasiatnya kepada anaknya yang berisi pengajaran tentang seluk beluk kehidupan dan berbagai hal yang menjadi keharusan untuk menjalin relasi yang harmonis dengan masyarakat. Dzul Ishba’ mengemukakan berbagai teori hubungan masyarakat yang diramu dari pengalaman hidupnya.
Dzul Ishba’ al-Adwani hidup pada zaman terjadinya perpecahan di kalangan kabilah Adwan. Ia adalah tokoh yang terhormat dalam kabilahnya dan senantiasa bekerja untuk menciptakan kerukunan di kalangan mereka. Pada saat menjelang ajalnya, Dzul Ishba’ memberikan wasiat kepada Usaid, putranya. Dalam usianya yang sudah renta, Dzul Ishba’ menyadari bahwa kehidupan yang diarunginya sarat dengan suka duka. Oleh sebab itu, ia berusaha merangkum pengalaman- pengalaman tersebut dalam bentuk pesan-pesan yang sangat relevan diterapkan dalam interaksi sosial. Wasiat tersebut diramu dengan kalimat-kalimat yang ringkas, namun padat dengan makna yang bermanfaat. Wasiat tersebut mencerminkan pribadi Dzul Ishba’ yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan perdamaian, yang dapat dinilai mewakili pola berpikir sebagian tokoh masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah.
Ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi mewujudkan kedudukan yang mulia ditengah manusia dan menjadikannya seorang yang mulia, terhormat dan dicintai oleh masyarakatnya. Ia berkata :
” يَا بُنَيَّ إِنَّ أَبَاكَ قَدْ فَنِيَ وَهُوَ حَيٌّ ، وَعَاشَ حَتىَّ سَئِمَ الْعَيْشَ ، وَإِنَّنِيْ مُوْصِيْكَ بِمَا إِنْ حَفِظْتَهُ بَلَغْتَ فِيْ قَوْمِكَ مَا بَلَغْتُهُ ، فَاحْفَظْ عَنيِّ : أَلِنْ جَانِبَكَ لِقَوْمِكَ يُحِبُّوْكَ ، وَ تَوَاضَعْ لَهُمْ يَرْفَعُوْكَ، وَ ابْسُطْ لَهُمْ وَجْهَكَ يُطِيْعُوْكَ، وَ لَا تَسْتَأْثِرْ عَلَيْهِمْ بِشَيْءٍ يُسَوِّدُوْكَ، وَأَكْرِمْ صِغَارَهُمْ كَمَا تُكْرِمُ كِبَارَهُمْ يُكْرِمْكَ كِبَارُهُمْ وَ يَكْبُرْ عَلَى مَوَدَّتِكَ صِغَارُهُمْ ، وَاسْمَحْ بِمَالِكَ ، وَاحْمِ حَرِيْمَكَ ، وَأَعْزِزْ جَارَكَ ، وَأَعِنْ مَنِ اسْتَعَانَ بِكَ ، وَأَكْرِمْ ضَيْفَكَ ، وَأَسْرِعِ النَّهْضَةَ فِيْ الصَرِيْخِ فَإْنَّ لَكَ أَجَلاً لَا يَعْدُوْكَ ، وَصُنْ وَجْهَكَ عَنْ مَسْأَلَةِ أَحَدٍ شَيْئاً فَبِذَلِكَ يَتِمُّ سُؤْدَدُكَ”
“Wahai putraku; sesungguhnya ayahmu telah renta tetapi msih hidup. Dan telah lama hidup hingga cukup bosan untuk hidup lebih lama, dan aku akan memberikanmu wasiat yang mana wasiat ini jika kamu jaga dan kamu terapkan kamu akan mendapatkan posisi di masyarakat sebagaimana yang telah kucapai, oleh karena itu ingatlah pesanku ini :
Berlemah lembutlah kepada manusia maka mereka akan mencintaimu, dan bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan mengangkat kedudukanmu, sambut mereka dengan wajah yang selalu berseri maka mereka akan mentaatimu, dan janganlah engkau bersikap kikir maka mereka akan menghormatimu. Muliakanlah anak kecil mereka sebagaimana engkau mencintai orang-orang dewasa diantara mereka, maka anak kecil tadi akan tumbuh dengan kecintaan kepadamu, mudahkanlah hartamu untuk kau berikan, hormatilah tetanggamu dan tolonglah orang yang meminta pertolongan, muliakanlah tamu, dan cepatlah bangkit untuk menolong orang lain karena usiamu telah ditentukan, dan jagalah wajahmudari sikap mudah meminta-minta sesutau kepada sesorang, maka dengan itu semua sempurnalah kemuliaanmu.”
Adapun konsep-konsep interaksi social atau yang kita kenal sekarang dengan sebutan Kompetensi Sosial yang tertuang dalam wasiat Dzul Ishba’ tersebut sebagai berikut :
- Sikap Lemah Lembut adalah Kunci untuk Meraih Kecintaan Sesama Manusia.
Jika disesuaikan menurut agama islam, Perwujudan dari sikap lemah lembut tersebut digambarkan dalam Alquran, yaitu: senantiasa memiliki sifat pemaaf terhadap sesama manusia, senantiasa memohonkan ampunan kepada Allah, dan bermusyawarah untuk menghargai pendapat mereka. Dengan mempraktikkan petunjuk tersebut di atas, Alquran memberikan jaminan bahwa manusia lain sangat mudah dipengaruhi. Hal ini merupakan hukum yang bersifat universal tanpa dibatasi oleh suku, bangsa, dan ideologi tertentu, sebab semua manusia memandang sikap lemah lembut sebagai sikap yang terpuji. - Sikap Tawadhu Kunci Meraih Kemuliaan di Kalangan Masyarakat
Wasiat tersebut di atas memiliki relevansi yang sangat kuat dengan pendidikan karakter dalam Islam. Materi pendidikan dalam wasiat tersebut sejalan dengan yang disinyalir oleh Rasulullah saw. Sebagai berikut:
“مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda: “Tidaklah berkurang harta karena sedekah, dan tidaklah seseorang tawadhu kecuali Allah mengangkat derajatnya, dan Allah tidak menambahkan kepada seseorang dengan sifat pemaafnya kecuali kemuliaan.” Tawadhu, selain sebagai salah satu akhlak terpuji, juga berfungsi sebagai pengendali dari berbagai bentuk kezaliman, kesombongan, dan arogansi. Dalam menafsirkan hadits ini, al-Muhaishabi berkata bahwa Allah memberikan ganjaran bagi orang yang bermuka manis di depan sesamanya. Ganjaran tersebut berupa kecintaan dan kemuliaan di hati manusia. - Bemuka manis Kunci meraih ketaatan sesama manusia
Berdasarkan pengalamannya, Dzul Ishba’ memandang bahwa simpati dan ketaatan orang lain, tidak bisa diraih melalui kekerasan dan keangkuhan. Menyambut mereka dengan senyum dan muka manis dapat menjadi penyebab lahirnya ketaatan sesama manusia. - Dermawan kunci untuk memperoleh pengakuan sebagai pemimpin
Kedermawanan menjadikan seseorang disegani oleh orang lain. Nabi saw. Mensinyalir bahwa kedermawanan menjadi kunci kedekatan manusia dengan Allah dan kedeketan dengan sesama manusia, sebagaimana tertuang dalam hadits berikut :
“السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنَ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنَ النَّارِ…”
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. Bersabda: “Orang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surge, dekat dengan manusia, jauh dari neraka …” (HR. Turmudzi). - Menghargai orang lain kunci untuk dihargai oleh orang lain
- Membangun kharisma melalui kesadaran dan pelaksanaan tanggungjawab social
Kesimpulan yang dapat diambil dari pemparan diatas adalah Karya sastra merupakan salah satau media yang mengabadikan misteri masa lampau dan juga sarana mentransfer value atau nilai. Karya sastra merupakan cermin kondisi sosial masyarakat pada zamannya. Bangsa Arab pada mulanya terpola monoteisme Nabi Ibrahim As, kemudian nilai-nilai tersebut tergerus oleh paham paganisme. Meskipun demikian, nilai-nilai keimanan, akhlak, dan kedermawanan, yang tetap terpelihara dalam jiwa sebagian orang pada masa jahiliyah, bersumber dari semangat monoteisme Ibrahim As. Setelah Islam datang, karakter tersebut diperbaharui dan diberi karakter rabbani dan dibalut dengan semangat kemanusiaan yang tinggi. Fakta historis ini menolak pandangan umum yang menggambarkan zaman jahiliyah sepenuhnya didominasi oleh dekadensi moral. Terdapat sejumlah tokoh masyarakat masih berpegang teguh terhadap nilai-nilai dakwah nabi Ibrahim As. Dzul Isba’ al-Adwani adalah salah seorang tokoh dan pemimpin pada zaman jahiliyah. Petuah-petuahnya menjadi rujukan moral masyarakat pada zamannya. Salah satu pertuahnya yang sangat monumental adalah wasiatnya kepada anaknya yang berisi pengajaran tentang seluk beluk kehidupan dan berbagai hal yang menjadi keharusan untuk menjalin relasi yang harmonis dengan masyarakat. Dzul Ishba’ mengemukakan berbagai teori hubungan masyarakat yang diramu dari pengalaman hidupnya. Materi wasiat Dzul Ishba’ al-Adawani memiliki relevansi dengan nilai-nilai moral dalam ajaran Islam. Sifat-sifat seperti: lemah lembut, tawadhu, dermawan, suka menolong, dan semacamnya adalah nilai-nilai mulia dalam ajaran Islam. Hal ini menujukkan bahwa terdapat nilai-nilai yang bersifat universal yang tidak dibatasi oleh suku, ras, dan agama.
Allahu A’lam bishshowab