Oleh: Nurul Istiqomah, S.pd
Kesehatan mental adalah kondisi psikologi, emosional dan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Seringkali, kita berpendapat bahwa gangguan mental identik dengan seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Namun, gangguan mental memiliki banyak jenis mulai dari yang sederhana seperti memiliki kebiasaan membersihkan tempat tinggalnya secara terus menerus, makan secara berlebihan dan kemudian memuntahkannya hingga gangguan mental yang parah seperti bipolar dan skizofrenia. Gangguan mental tidak hanya berpengaruh bagi penderitanya tapi juga berpengaruh terhadap orang lain di sekitarnya. Gangguan mental dapat berupa neurosis maupun psikosis. Neurosis adalah gangguan mental ringan seperti kecemasan dan ketakutan yang berlebihan, anti sosial, gangguan kepribadian, perubahan mood dan emosi tanpa alasan yang jelas. Sedangkan psikosis adalah gangguan mental yang menimbulkan halusinasi dan delusi.
Purmansyah (2013) dalam jurnal ilmiahnya menjelaskan bahwa kesehatan mental dalam perspektif islam adalah kemampuan manusia untuk mengelola fungsi kejiwaannya demi terciptanya adaptasi manusia tersebut dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Islam merupakan terapi kesehatan mental yang paling tepat. Hal ini ditunjukkan secara jelas oleh Allah dalam firmanNya pada surat Ar Ra’du ayat 28 yang berbunyi :
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
Dengan mengingat Allah, melalui ibadah dan dzikir maka manusia akan merasakan ketenangan dalam hatinya. Sesulit apapun masalah dalam hidupnya, jika manusia mengutamakan dan mengingat Allah, insyaa Allah hidupnya akan mengalami kemudahan. Islam mengajarkan manusia untuk menghadapi kesulitan dalam hidupnya melalui sabar dan sholat.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah : 153)
Sebelum melaksanakan sholat, kita wajib menyucikan diri kita dengan berwudhu. Selain menyucikan raga kita, wudhu yang baik dan benar juga akan menyucikan hati dan pikiran kita dari hal-hal negatif. Dengan berwudhu, melaksanakan sholat dengan tuma’ninah dan khusyu’ maka hati kita akan menjadi tenang.
Jika ingin menambah ketenangan batin, kita juga dapat membaca Al-Qur’an. Sekedar mendengarkan seseorang membaca Al-Qur’an, kedamaian akan terasa di hati kita apalagi jika kita ikut membacanya dan mentadabburi maknanya. Dengan tadabbur Al-Qur’an kita akan mengetahui tujuan penciptaan manusia, jalan hidup manusia di dunia dan tujuan akhir hidup kita.
Selain, Sholat, berdzikir, membaca Al-Qur’an, banyak ibadah lain yang dapat menjadi psikoterapi untuk mengatasi masalah gangguan mental. Namun, bagaimana seseorang yang mengalami gangguan mental dapat tergerak untuk melaksanakan semua ibadah itu? Bagaimana jika kondisi keluarga tidak mendukung penderita untuk sembuh?
Faktor lingkungan merupakan hal yang paling utama dalam memotivasi penderita gangguan mental untuk sembuh. Orang-orang yang berada di sekitar penderita merupakan tokoh yang menjadi pemeran kunci yang dapat membuka atau menutup gerbang kesembuhan penderita. Sebagai contoh, penderita depresi atau bipolar tidak akan bertambah baik jika orang di sekitarnya mengatakan “Orang lain juga memiliki masalah yang sama denganmu” atau “Bangkitlah, jika terus begini bagaimana dengan keluargamu” atau “ Aku merasakan hal yang sama denganmu”. Kalimat-kalimat itu terkesan menunjukkan rasa simpati atau empati bagi kita. Namun, tidak terlihat seperti itu bagi penderita depresi atau bipolar. Kalimat-kalimat tersebut tidak menuntun mereka pada ketenangan malah menuntun mereka terjerumus lebih dalam pada dasar jurang derita dan kesepian. Kalimat tersebut hanya menunjukkan bahwa kita tidak tahu apa yang mereka rasakan.
Hal yang paling tepat adalah membuat mereka berpikir untuk mengaktifkan fungsi otaknya kembali. Ketika seseorang emosi atau mengalami mood yang labil kondisi otaknya akan inactive. Perlu rangsangan hal-hal yang membuat mereka berpikir dan mengaktifkan kembali otaknya. Buat mereka berpikir apa yang menjadi tujuan hidup mereka, hal-hal positif apa yang pernah mereka lalui. Buat mereka melihat apa yang dialami oleh orang lain dan bagaimana orang lain juga kehilangan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Setelah membangun pemikiran ini dalam hati dan pikirannya, sudah saatnya untuk membuat mereka menjadi lebih dekat dengan Allah melalui ibadah sebagai psikoterapi bagi mereka. Hal ini, mungkin akan memakan waktu yang lama. Namun, sedikit saja langkah yang tepat untuk kita dapat membuat ratusan penderita gangguan mental menjadi terhindar dari ancaman yang lebih buruk seperti bunuh diri.
When your life gets harder, love yourself and remember that Allah remember you as always…