Oleh : Ridwan, S Pd, M. Pd.
Memasuki sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadan, hendaknya lebih semangat lagi dalam beribadah. Ibarat perlombaan mendekati garis finis lebih kencang lagi untuk menjadi pemenang. Fase terakhir dari bulan penuh berkah ini, bukan sekadar penutup tetapi merupakan puncak ibadah yang harus kita optimalkan. Di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah memberikan contoh dalam mengoptimalkan ibadahnya dalam sepuluh hari terakhir. Dari Aisyah ra. Berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِيْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ
Artinya: “Dari Aisyah ra, Rasulullah saw. sangat bersungguh-sungguh (beribadah) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan), melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) lainnya” (HR. Muslim)
Kaifiah Iktikaf
Iktikaf secara bahasa artinya berdiam di suatu tempat, menurut syariat artinya berdiam di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berzikir, berdoa, berselawat, membaca Al-Qur’an, dan aktivitas lainnya untuk lebih dekat dengan Allah. Iktikaf hukumnya sunah, kecuali karena nazar hukumnya menjadi wajib. Firman Allah:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka itu (istri), sedang kamu beriktikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah 187).
Ibnu Hajar menjelaskan yang dimaksudkan masjid pada ayat tersebut, masjid di mana saja secara umum tanpa mempersyaratkan masjid tertentu. Jumhur ulama sepakat iktikaf hanya dilakukan di dalam masjid yang digunakan salat berjamaah lima waktu, tidak boleh di tempat lain. Imam Syafi’i berpendapat masjid yang dipergunakan iktikaf adalah masjid yang digunakan salat Jumat agar mereka yang iktikaf tidak keluar dari area masjid. Ibnu Qudamah mensyaratkan mengapa masjid yang dipakai salat lima waktu untuk Iktikaf karena salat berjamaah bagi laki-laki hukumnya wajib, jika meninggalkan masjid maka mereka akan meninggalkan perkara yang wajib dan akan membatalkan iktikaf karena tidak menetap.
Wanita Beriktikaf
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beriktikaf.
‘Aisyah ra berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beriktikaf pada bulan Ramadan, apabila selesai dari salat subuh, beliau masuk ke tempat khusus iktikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beriktikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR.Bukhari)
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beriktikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadan hingga wafatnya kemudian istri-istri beliau pun beriktikaf setelah kepergian beliau” (HR. Bukhari, Muslim).
Wanita diperbolehkan iktikaf dengan syarat mendapatkan izin dari suami dan tidak menimbulkan fitnah godaan bagi laki-laki, berpakaian sesuai syar’i serta tidak memakai minyak wangi.
Adab iktikaf
Niat beriktikaf di dalam masjid dengan menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdoa, zikir, berselawat pada Nabi, mengkaji Al-Qur’an dan hadis, membaca buku agama, dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat, melalaikan takarub pada Allah, sibuk bermedsos bukan untuk tujuan dakwah, ilmu dan mendekatkan diri pada Allah. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan iktikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan yaitu:
- Karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i ), seperti melaksanakan salat Jumat.
- Karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) apakah hajat naluriah manusia atau hajat kemanusiaan.
- Karena sesuatu yang sangat darurat.
- Semoga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas ibadah.
Waallahu a’lam bishowab.